Sports

.

Wednesday, June 18, 2025

Ketika LSM dan Media Menggantikan Peran Masyarakat dalam Aksi terhadap Pemerintahan Desa. Benarkah Secara Hukum dan Etika?

 


Opini - Di berbagai wilayah Indonesia, mulai muncul praktik yang menyimpang dari prinsip demokrasi partisipatif: Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perusahaan pers bertindak sebagai pelapor dan pelaksana aksi terhadap pemerintah desa, tapi sering kali tanpa keterlibatan langsung Kelompok masyarakat setempat sebagai pihak terdampak. Fenomena ini tidak hanya memunculkan persoalan etika kelembagaan, tetapi juga berpotensi melanggar hukum positif yang berlaku.


Masyarakat atau Kelompok Masyarakat setempat adalah pelapor yang sah


Sesuai Pasal 108 KUHAP, pelapor tindak pidana adalah pihak yang mengalami, melihat, atau menyaksikan peristiwa pidana. Dalam konteks pemerintahan desa, warga setempat atau Kelompok Masyarakat setempat merupakan pihak yang memiliki legitimasi hukum dan sosial untuk mengajukan laporan terhadap dugaan penyelewengan. Jika pelaporan dilakukan oleh pihak di luar desa tanpa adanya kuasa dari warga, maka laporan tersebut cacat legal standing dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.


Fungsi LSM sebagai pendamping, bukan pelapor utama


LSM memiliki peran strategis dalam mendampingi masyarakat, mengedukasi warga terkait hak dan prosedur hukum, serta mengawal proses pelaporan. Namun, dalam praktik hukum Indonesia, LSM tidak memiliki wewenang melaporkan tanpa surat kuasa dari pihak yang dirugikan secara langsung. Tanpa dokumen formal tersebut, laporan LSM tidak hanya cacat hukum, tetapi dapat dikategorikan sebagai pelaporan tidak sah. Bila terbukti menyampaikan laporan palsu atau tanpa dasar hukum yang jelas, Oknum LSM pelapor dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 220 KUHP dengan ancaman pidana hingga 1 tahun 4 bulan.


Perusahaan pers tugasnya meliput wajib menjaga independensi dan posisinya harus Netral


Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik menegaskan bahwa tugas media adalah menyajikan informasi secara objektif dan independen. Perusahaan pers tidak diperkenankan menjadi peserta aksi, apalagi pelapor terhadap objek pemberitaannya sendiri. Ketika media menandatangani surat aksi atau bertindak sebagai pelaksana demo, hal tersebut melanggar prinsip netralitas dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan yang serius. Sanksi etik dari Dewan Pers dapat diberikan kepada media yang melanggar, berupa teguran, pencabutan verifikasi, hingga proses hukum apabila disertai fitnah atau pencemaran nama baik.


Fenomena ini bukan sekadar kasus lokal. 

Pola pelibatan LSM dan media sebagai aktor utama dalam aksi terhadap pemerintah desa tidak lagi bersifat sporadis, melainkan sudah menjalar ke berbagai daerah di Indonesia. Tanpa pelibatan masyarakat setempat sebagai pihak utama, aksi-aksi ini berakibat pada kehilangan legitimasi sosial dan berubah menjadi tekanan dari kelompok tertentu yang tidak memiliki keterkaitan langsung. Demokrasi Indonesia tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa akar sosial yang sah.


Demokrasi dan tuntutan Keadilan juga harus taat hukum

Kontrol sosial terhadap pemerintah terutama pemerintahan desa sangat penting dalam memberantas korupsi dan membangun tata kelola yang bersih. Namun, itu harus dilakukan oleh subjek yang sah dan dengan cara yang sesuai dengan norma hukum. Kelompok Masyarakat setempat adalah pelapor utama, LSM sebagai pendamping, dan media sebagai peliput yang independen. Jika ketiganya sudah saling tumpang tindih, maka hukum dan etika publik sudah di langgar.


Maka, apabila LSM dan perusahaan pers menggantikan peran masyarakat tanpa dasar hukum yang sah, negara wajib hadir untuk melakukan penertiban. Demokrasi hanya bermakna jika dijalankan oleh rakyat, bukan sekadar atas nama rakyat.


Oleh:  Yan Salam Wahab, SHi, M.Pd (Aktivis dan Praktisi)


No comments:
Write comments